Rangkok Gading atau Enggang Gading yang menjadi maskot Kalimatan Barat, mulai terancam kepunahan di alam liar. Padahal burung berukuran besar dari famili Bucertidae telah masuk sebagai hewan dilindungi. Berbagai dalih membuat burung monogami di buru untuk kepentingan kalangan tertentu.
Kekhawatiran membuat banyak kalangan yang ingin menyelamatkan Rangkok Gading (Rhinoplax vigil) dari kepunahan, terlebih bukan hanya persoalan kerusakan habitat, permasalahan utama lainnya yang mengancam kelestarian Rangkong Gading adalah kegiatan perburuan.
Di Indonesia, penggunaan Rangkong Gading banyak ditemukan di pulau Kalimantan, yaitu oleh masyarakat Suku Dayak, dimana bulu ekor Enggang digunakan sebagai simbol keberanian dalam ritual ngayau untuk Suku Kayan, Kenyah dan Kelamantan (Banks, 1935 dalam Kemp, 1995 ; Bennet et al., 1997) dan gadingnya kerap digunakan sebagai anting bagi para tetua Suku Dayak yang hidup di sisi timur pulau Kalimantan (Harrisson, 1951 dalam Kemp, 1995).
Selain itu, tingginya permintaan dan keuntungan ekonomi dari Rangkong Gading mendorong masyarakat untuk masuk ke hutan dan melakukan perburuan. Dalam perjalanannya, masyarakat yang masuk hutan tidak hanya berburu Rangkong Gading, tetapi juga memburu semua hewan yang memiliki nilai jual, seperti harimau, badak, trenggiling maupun gajah.
Hasil investigasi dari Hadiprakarsa & Irawan (2013) menemukan bahwa perburuan di Kalimantan Barat dimulai oleh sekelompok pemburu di desa, yang tiap kelompoknya terdiri dari 2-5 orang. Setidaknya disetiap desa terdapat satu kelompok pemburu yang dikhususkan untuk mencari Rangkong Gading di hutan. Setiap kali masuk hutan, kelompok pemburu ini sedikitnya membawa kembali 2 sampai 10 kepala Rangkong Gading.
Perdagangan illegal merupakan permasalahan yang tak kalah beratnya mengancam kelestarian Rangkong Gading. Banyaknya kasus kejahatan terhadap satwa liar dan mafia di belakangnya menunjukkan bahwa kejahatan ini telah menjadi kejahatan terorganisir. Rangkong Gading telah menjadi salah satu spesies primadona yang menjadi target utama para pelaku kejahatan perdagangan illegal satwa liar. Bagian-bagian (organ) tubuhnya pun menjadi seksi untuk diperdagangkan, seperti contoh kasus berikut ini yang dikutip dari berbagai sumber.
Polres Tapanuli Utara berhasil menangkap pelaku jual beli paruh Rangkong Gading S (44), warga Desa Matang, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Tersangka diamankan pada Sabtu (6/8/2022) sekitar pukul 18.20 Wib saat melakukan jual beli paruh Rangkong Gading di lokasi Tugu Lonceng Kelurahan Hutatoruan X, Tarutung, Tapanuli Utara. Petugas mengamankan 10 buah paruh Rangkong Gading dari pelaku. Estimasi petugas harga paruh tersebut Rp. 40 juta per kepala atau total senilai Rp. 400 juta. (https://medan.kompas.com).
Dalam kasus lain, Pihak Bandara dan Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang, Jawa tengah, menggagalkan penyelundupan 23 paruh Rangkong Gading atau Enggang Gading (Rhinoplax vigil) dari Kalimantan Tengah, Selasa (9/2/2021). Paruh dengan total nilai Rp. 900 juta itu akan dibawa ke Makasar, Sulawesi Selatan, dan diduga dijual ke pasar luar negeri. (www.kompas.id).
Hasil monitoring yang dilakukan oleh Rangkong Indonesia dan Wildlife Crime Unit WCS-IP menunjukkan bahwa tren permintaan Rangkong Gading mulai melonjak tahun 2012, dimana para kolektor besar sudah menempatkan pengepul-pengepul kecil di kota-kota yang memiliki nilai strategis. Di Sumatera, lokasi-lokasi yang umum dijadikan tempat pengepul Rangkong Gading dan satwa lainnya adalah Medan, Riau, Palembang, dan Lampung, sedangkan di Kalimantan lokasi pengepul ditemukan di wilayah Kalimantan Barat, seperti di Ketapang, Sintang, Melawai, Putusibau, dan Kalimantan Timur (Samarinda) (Hadiprakarsa, et al.,2013).
Meskipun statusnya telah dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDA Hayati dan Ekosistemnya Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Jo. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, namun itu belum cukup memberi garansi (baca juga : jaminan) bagi perlindungan dan penyelamatan Burung Rangkong. Dalam prakteknya, penanganan kasus kejahatan satwa liar termasuk Rangkong, proses penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana kerap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak kasus yang putusan pengadilan diharapkan mampu memberi efek jera terhadap pelaku maupun calon pelaku potensial lainnya, pada kenyataannya tidak memuaskan (mengecewakan) dan jauh dari ekspektasi
Putusan yang terlalu ringan tersebut tentunya menjadi salah satu faktor utama penyebab maraknya kegiatan perburuan dan perdagangan satwa liar. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi upaya-upaya memberi keadilan dan kepastian hidup bagi Burung Rangkong. Bagaimanapun satwa liar butuh hidup yang aman dan tenang di habitatnya, sebagaimana kita manusia yang juga membutuhkan ketenangan dan kedamaian hidup di dunia ini.