• 22 November 2024

Panen Kelengkeng dengan Sistem Surjan

uploads/news/2020/05/panen-kelengkeng-dengan-sistem-15318e07b4f4c78.jpg

“Kelengkeng dataran rendah kurang dari dua tahun sudah dapat berbuah. Hal ini sudah saya buktikan dengan tanaman kelengkeng new kristal di persawahan. Bentuk dan rasa kelengkeng dataran rendah lebih unggul, karena rasanya lebih manis dan ukurannya lebih besar.”

JAKARTA - Warsito, petani dari Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, berhasil mengembangkan tanaman kelengkeng di lahan surjan bersama tanaman padi atau tanaman hortikultura.

Warsito mengatakan, ia merintis untuk berbudidaya kelengkeng varietas new kristal di lahan surjan yang ada di wilayah Wates.

Baca juga: Panen Aquaponik di Tengah Pandemi

Ia mengaku terinspirasi dari tempat budidaya dan pemasaran yang ada di daerah dataran tinggi, Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang mampu berproduksi dan pemasarannya sangat laku.

“Kemudian, saya melakukan uji coba dengan sistem surjan, dengan menanam padi, atau palawija dan tanaman kelengkeng,” katanya kepada ANTARA, Selasa (19/5) lalu.

Ia meyakini, kelengkeng dapat tumbuh baik dan berproduksi dengan baik di dataran rendah, serta mampu mengembangkan buah kelengkeng new kristal yang kualitasnya setara atau melebihi buah impor.

Pada lahan surjan, keyakinannya itu dipertaruhkan, karena selama ini mayoritas petani di daerah tersebut menanam padi, palawija, dan tanaman hortikultura lainnya seperti bawang merah dan cabai merah.

Namun, upaya tersebut tidak berjalan mulus.

Banyak cemoohan dan celaan yang datang, akan tetapi keyakinannya melebihi dari sekedar cemoohan dan celaan tersebut.

Dirinya berusaha bertahan dengan keadaan yang ada.

Ia ingin membuktikan apa yang menjadi keyakinannya tersebut.

Keyakinannya tersebut sekarang sudah terbayar dengan dilakukannya panen buah kelengkeng.

“Kelengkeng dataran rendah kurang dari dua tahun sudah dapat berbuah. Hal ini sudah saya buktikan dengan tanaman kelengkeng new kristal di persawahan. Bentuk dan rasa kelengkeng dataran rendah lebih unggul, karena rasanya lebih manis dan ukurannya lebih besar,” sebutnya.

Ia mengatakan, kelengkeng relatif jauh dari hama, kecuali gangguan saat musim buah atau panen.

Untuk mencegah serbuan kelelawar sendiri, dapat dilakukan dengan pemasangan jaring (brongsong).

Sedangkan gangguan lainnya yaitu telur belalang yang menempel pada daun, namun sangat mudah disingkirkan.

Warsito mengatakan, kelengkeng new kristal termasuk jenis varietas kelengkeng unggulan terbaru yang merupakan hasil penyempurnaan dari kelengkeng kristal atau kelengkeng kristalin.

Keunggulan varietas new kristal yaitu pertumbuhan sangat baik, dompolan buah sangat banyak, daging tebal, tekstur kering, dan renyah.

Selain itu, juga tahan terhadap terpaan angin dan hujan, karena daunnya lebih panjang dan sifatnya elsastik.

Yang paling menarik, masa panen dapat diatur sendiri oleh petani dengan cara pembosteran, sehingga kelengkeng dapat dibuahkan dan dipanen sepanjang tahun tanpa mengenal musim.

“Hal inilah yang sangat menarik, karena kebetulan tempat budidaya tersebut merupakan jalur utama menuju bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Sehingga, dipastikan masalah pemasaran tidak akan terjadi dan diyakini setiap panen akan diserbu oleh pembeli,” tuturnya.

Sementara itu, penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian dan Pangan Kulon Progo, Martono mengatakan, keunggulan kelengkeng varietas new kristal yaitu memiliki rasa yang super manis dengan tingkat kemanisan 21 skala brix.

Ini karena, konsumen sangat suka kelengkeng yang tebal, tidak berair atau lembek, renyah, dan tidak menempel pada bijinya atau nglothok.

Ketebalan daging dapat mencapai diameter 3 sentimeter.

Berbuah sepanjang tahun dengan pembosteran atau 1,5 kali per tahun atau tiga kali panen dalam dua tahun.

Produktivitasnya tinggi, untuk panen perdana biasanya 20-25 kilogram per pohon.

Pohon umur empat tahun mampu menghasilkan 75 kilogram, lima tahun sekitar 100 kilogram, umur 5-7 tahun sekitar 100-150 kilogram per pohon.

“Tingkat adaptasi tinggi, dapat ditanam pada tanah grumosol, laktosol, andosol, maupun lempung berpasir dengan pH 5,0-6,6 dan curah hujan yang dibutuhkan 1.100-1.500 milimeter per tahun dengan kelembapan 50-90%. Dapat dibudidayakan di dalam pot dan nilai ekonomis tinggi,” jelasnya.

Ia mengatakan, harga panen kelengkeng new kristal kali ini sangat tinggi yaitu Rp50.000 per kilogram.

Jika petani menginginkan harga lebih, maka dapat dijual dalam bentuk paket agrowisata.

Hal ini sudah dilakukan petani di Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih.

Pengunjung dipersilahkan untuk memetik buah sendiri dan merasakan suatu fenomena serta keadaan yang tidak akan pernah dirasakan oleh konsumen yang membeli buahnya saja, sehingga harga berapa pun konsumen dengan senang hati membayarnya.

“Pengalaman untuk memetik buah langsung dari batangnya merupakan pengalaman tersendiri bagi konsumen. Keuntungan konsumen dengan memetik sendiri, selain kegembiraan saat memetik buah dari pohonnya, akan mendapatkan buah yang matang, segar dari pohonnya sesuai keinginan,” ujarnya.

Lahir dari Kondisi Ekologi dan Perekonomian

Sawah Surjan

Metode sawah surjan sendiri lahir sebagai respon petani di Kabupaten Kulon Progo bagian selatan akibat kondisi ekologi dan ekonomi.

Melansir keterangan resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, petani di daerah tersebut menggambarkan tanah mereka seabgai tanah yang banyak mengandung pasir dan lapisannya tipis.

Sifat tanah seperti itu menyebabkan pada musim kemarau tanah sering mengalami kekeringan.

Air yang jatuh ke permukaan tanah, baik dari hujan maupun sumur sawah, akan cepat merembes ke dalam tanah.

Sebaliknya, pada musim hujan, karena lapisannya tanahnya tipis, maka air dari dalam tanah meluap dan air hujan atau pun air sungai tidak cepat merembes, serta tetampung ke dalam tanah.

Petani menjadi tidak beruntung.

Pada musim kemarau, mereka praktis tidak dapat menanam padi.

Sedangkan pada musim hujan, sawah digenangi air, baik air hujan maupun air sungai, sehingga sawah mereka mirip rawa-rawa kecil yang ditumbuhi tanaman.

Awalnya, petani di Desa Bojong, Kecamatan Panjatan, menyebut sistem pertanian mereka bukan dengan nama sawah surjan, tetapi sawah marengan.

Petani Kulon Progo menggunakan istilah sawah surjan untuk menyebut sistem pertanian di kebanyakan tempat di daerah mereka.

Tetapi, tampaknya tiap tempat memiliki istilah dan sejarah perkembangannya sendiri.

Dari segi etimologi, kata sawah surjan berasal dari kata sawah dan surjan, maksudnya sawah yang warnanya seperti surjan atau pakaian tradisional kemeja pria Jawa.

Kemeja ini umumnya terbuat dari kain lurik dengan motif warna beraneka tersusun bergaris-garis.

Jika Sahabat Tani melihat sawah surjan, maka akan melihat aneka warna tanaman dari berbagai jenis tanaman, mirip seperti motif warna kain surjan.

Sawah surjan muncul di Bojong kira-kira pada awal 1950-an, meski pun dasar-dasar dari sistem pertanian ini sudah muncul sebelumnya.

Sebelum 1950-an, umumnya sawah tadah hujan di Bojong hanya dapat ditanami sekali setiap tahunnya, yaitu pada musim hujan.

Pada masa peralihan musim hujan ke kemarau (masa mareng atau masa gadhu) sawah ditanami tanaman semusim lainnya, dan sawah itu disebut sawah marengan.

Pada masa itu pula, terdapat sawah yang tidak ditanami padi pada musim hujan karena tergenang air, tetapi hanya dapat ditanami non padi sewaktu masa mareng, hingga disebut sawah marengan.

Pada musim kemarau, petani praktis tidak bercocok tanam, kecuali menanam umbi-umbian, tanaman yang mudah tumbuh meski pun tanah dalam keadaan kering.

Tujuan dari penerapan multiple cropping antara tanaman padi dan jagung dengan sistem surjan yaitu sebagai berikut:

Pertama, untuk diversifikasi tanaman.

Kedua, menjaga agar tanah tidak menjadi asam.

Ketiga, mengurangi bahaya kekeringan.

Keempat, mengurangi keracunan akibat genangan.

Kelima, mengurangi risiko kegagalan dalam budidaya

Keenam, meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman secara multiple cropping.

Berdasarkan cara pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan, yaitu:

Pertama, dibuat sekaligus dan kedua, dibuat secara bertahap.

Arah surjan disarankan memanjang timur-barat agar tanaman (padi) pada bagian tabukan mendapat penyinaran matahari yang cukup.

Surjan setiap musim atau setiap tahun dilibur (disiram lumpur) yang diambil dari sekitarnya untuk mempertahankan bentuk dan produktivitasnya.

Peningkatan daya guna lahan pasang surut sulfat masam dapat dikembangkan dengan tanaman padi dan non-padi, di mana tanaman padi dapat ditanam di lahan sawah, sedangkan tanaman selain padi dapat ditanam di lahan kering.

Kombinasi cara pengelolaan demikian disebut dengan sistem surjan.

Sejumlah petani di kawasan Kabupaten Kulonprogo masih setia menerapkan sistem pertanian tradisional model Surjan hingga saat ini.

Sistem Surjan merupakan sistem pertanian yang dilakukan secara selang-seling antara tanaman padi dan palawija.

Sistem ini diterapkan oleh para petani Kulonprogo secara turun-temurun selama puluhan tahun guna mengantisipasi kondisi lahan pertanian yang ada.

Salah satu daerah yang masih menerapkan sistem pertanian Surjan, hingga saat ini yaitu di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo serta beberapa wilayah lain yang tersebar di Kulon Progo.

Sawah Surjan dikenal masyarakat Kulon Progo sebagai pola cocok tanam yang diturunkan dari leluhur dan nenek moyang mereka.

Sawah surjan memiliki makna, hidup harus memiliki keseimbangan dan keselarasan dengan alam dan dengan manusia.

Baca juga: Panen Timun Suri Menjelang Ramadhan

Bentuk barisan yang dilarik-larik, hingga menyerupai surjan memberikan pembelajaran untuk perlahan-lahan membangun sebuah hubungan sosial dengan kesabaran dan ketekunan.

Alam di Kulon Progo yang memang kurang bersahabat dengan persawahan pun menjadi seimbang dengan sistem pertanian surjan.

Masyarakat Kulon Progo menjelaskan, sistem pertanian surjan menaikkan nilai tambah produksi pertanian mereka sehingga laba yang diperoleh petani semakin bertambah.

Related News