KKP Kembangkan Teknologi Pembenihan Rajungan
“Bila hanya mengandalkan tangkapan alam, tentu kenaikan produksi sangat bergantung banyak hal.”
JAKARTA - Rajungan atau dikenal dengan nama dagang Blue Swimming Crab merupakan penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan Indonesia, bersama dengan udang, tuna-tongkol-cakalang, cumi-sotong-gurita, dan rumput laut.
Baca juga: Bioflok Picu Produktivitas Perikanan Nasional
Pasar ekspor rajungan juga terbuka ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto mengungkapkan, peluang pasar ekspor dan lokal untuk komoditas rajungan terus meningkat setiap tahunnya.
Namun, kata Slamet, saat ini kebutuhan pasar ekspor masih sangat tergantung dari hasil tangkapan di alam, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan eksploitasi berlebih.
“Bila hanya mengandalkan tangkapan alam, tentu kenaikan produksi sangat bergantung banyak hal. Inovasi melalui teknologi pembenihan dan budidaya menjadi terobosan yang sangat penting. Budidaya juga menjadi solusi untuk menjaga kelestariannya di alam,” katanya dalam keterangan tertulis KKP belum lama ini.
Slamet menjelaskan, pengembangan budidaya rajungan telah dilakukan sejak 2005 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT), Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.
“Tingkat kelulushidupan benih rajungan hasil proses pembudidayaan mencapai 30-48% dan di tingkat pembesaran berkisar 30-35%. Ini menjadi dasar utama pengembangan teknologi budidaya rajungan berkelanjutan. Selain itu, hasilnya dapat digunakan untuk restocking benih di alam sehingga menambah populasi rajungan di habitat alaminya semakin meningkat,” tutur Slamet.
Slamet juga mengaspresiasi terobosan yang dilakukan Eddy Nurcahyono, perekayasa BBPBAP Jepara yang berhasil mengembangkan teknologi pembenihan rajungan yang aplikatif bagi masyarakat.
Slamet pun berharap, ke depannya satu per satu tantangan pengembangan budidaya rajungan dapat diselesaikan.
Seperti belum adanya penetapan kawasan budidaya rajungan, sistem penyediaan benih dari unit perbenihan belum memadai, adanya keterbatasan informasi, dan pencatatan pada perikanan skala kecil.
“Strategi kami dalam pengembangan budidaya rajungan, pertama sosialisasi dan adopsi teknologi budidaya. Kedua, kita akan lakukan stock assesment, stock enhancement dan pengelolaan perikanan berbasis budidaya”, jelas Slamet.
Ketiga, penetapan kawasan kluster budidaya rajungan dan kawasan suaka induk rajungan melalui restocking.
Keempat, revitalisasi dan model perbenihan rajungan, model pengembangan budidaya.
Kelima, melalui diseminasi budidaya oleh UPT sekaligus kontroling, monev, dan evaluasi.
“Untuk itu, kita akan terus bekerjasama dengan Badan Riset dan SDM KKP, perguruan tinggi, asosiasi dan swasta untuk benar-benar mewujudkan budidaya rajungan yang berkelanjutan”, ungkap Slamet.
Sementara itu, Eddy menyebutkan dengan teknologi yang dikembangkannya, maka kebutuhan benih rajungan tidak lagi sepenuhnya tergantung dari alam.
“Teknologi pembenihan rajungan sederhana, sehingga efektif untuk dikembangkan sebagai usaha skala rumah tangga bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya”, ujar Eddy yang juga menerima penghargaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Insipratif atas terobosannya ini.
Eddy memaparkan, tahapan pembenihan rajungan diawali dengan persiapan sarana dan prasarana, serta sterilisasi sumber air.
Dilanjutkan dengan tahap pemilihan induk, pemeliharaan larva, setelah itu pemeliharaan zoea dan megalopa, kemudian pemeliharaan crablet serta pendederan.
Hingga proses pembesaran dan panen.
“Untuk tahap pembesaran masih ketergantungan ketersediaan pakan segar karena pabrik pakan skala rumah tangga masih belum berkembangan dengan baik”, sebut Eddy.
Teknologi pembenihan rajungan ini, lanjutnya, telah dikembangkan melalui diseminasi dalam bentuk penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat, sehingga akan ada efek ekonominya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir.
“Saat ini pengembangan skala industri masih diperlukan kajian lanjutan untuk memperoleh teknologi pendederan skala industri yang efektif, efisien dan profitable”, tambah Eddy.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), Hawis Madduppa mengatakan, rangkaian pelaksanaan program perbaikan perikanan dalam mendukung program pengembangan perikanan (FIP) rajungan berkelanjutan salah satunya dengan pengembalian stok di alam atau restocking.
Selain itu, dalam rangka mendukung pengembalian rajungan kecil dan rajungan bertelur ke laut setelah tertangkap, APRI melakukan suatu gerakan bernama ‘gerakan tangkap, kembalikan, sebelum 5 menit’ (GTK5).
Gerakan tersebut dimaksudkan, agar nelayan dapat menerapkan pengembalian rajungan kecil atau bertelur dengan jangka waktu kurang dari 5 menit setelah penangkapan.
Hal ini juga untuk mengurangi risiko kematian rajungan dan perikanan rajungan berkelanjutan, dalam rangka upaya untuk kelestarian dan keberlanjutan perikanan rajungan di Indonesia.
Baca juga: Klaim Positif Ekspor Benih Lobster
Untuk diketahui, lokasi percontohan dan diseminasi pembenihan rajungan oleh UPT Ditjen Perikanan Budidaya, diantaranya ada di Kabupaten Takalar, Maros, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
Serta di UPTD milik pemerintah daerah dan diseminasi budidaya di sentra-sentra penghasil rajungan seperti di Kalimantan Timur.